Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia \xd\xd\xd UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Konflik dan Benturan Budaya dalam Novel Salah Asuhan Karya Abdoel Moeis
Kamis, 29 Mei 2025 19:51 WIB
Namun, di balik itu tiap kalimat tersembunyi pergulatan batin yang lebih rumit para tokohnya.
***
Novel Salah Asuhan yang pada pandangan pertama terlihat sebagai kisah asmara terlarang antara Hanafi dan Corrie. Namun, di balik itu tiap kalimat tersembunyi pergulatan batin yang lebih rumit; Hanafi yang bergulat dengan identitas Timur dan Barat, Corrie yang kejujuran sikapnya menutupi kerentanan, sang Ibu yang merajut kasih dalam tradisi, hingga Rapiah yang setia dalam diam, memancarkan pergulatan emosional dan budaya yang kompleks.
- Hanafi
Hanafi adalah tokoh protagonis yang paling mencerminkan konflik batin dan benturan budaya. Pemuda asal solok ini menuntut ilmu di HBS, sehingga ia merasa dirinya lebih maju karena budaya Barat. Perlahan Hanafi menempatkan dirinya seolah lebih superior daripada bangsanya. Sehingga dalam novel Salah Asuhan Hanafi mengejek adat Minang:
""Itulah salahnya, ibu. bangsa kita dari kampung; tidak suka menurutkan putaran zaman. Lebih suka duduk rungkuh dan merangkul saja sepanjang hari. Tidak ubah dengan kerbau bangsa kita, Bu! dan segala sirih menyirih itu." (Salah Asuhan, hlm. 29)
Moeis menggambarkan Hanafi yang angkuh dan bingung atas identitasnya, sampai-sampai ia menggambarkan penampilan dan lidahnya sendiri bak orang Belanda:
"Pakaian cara Belanda, pergaulannya dengan Belanda saja. Jika ia berbahasa Melayu, meskipun dengan Ibunya sendiri, maka dipergunakannya bahasa Riau, dan kepada orang yang di bawahnya ia berbahasa cara orang Betawi. Begitupun juga sebagai dipatah-patahkannya lidahnya dalam berbahasa sendiri. (Salah asuhan, hlm. 29)
Kutipan di atas menunjukkan betapa Hanafi sudah menganggap rendah asal-usulnya. Konflik internal inilah yang melekat pada Hanafi, Ia terobsesi dengan kebebasan ala Barat sekaligus dihantui rasa salah dan benci terhadap "adat nenek moyang" yang dianggapnya kolot.
2. Corrie
Corrie du Busse, gadis keturunan Indo-Prancis yang dipuja Hanafi, melambangkan benturan budaya dari sisi lain. Ia digambarkan anggun, cerdas, namun terseret dalam norma Barat. Ketika Hanafi menyatakan cinta, Corrie menolak karena beda asal, Corrie merasa tak mungkin kalau mencintai Hanafi lantaran berbeda bangsa. Setelah menikah dengan Hanafi di kota besar, Corrie justru menghadapi kekerasan dan diskriminasi yang Moies soroti. Novelnya menunjukkan bahwa Corrie menaruh harga tinggi pada kebebasan pribadi, ia bahkan berkata tidak tertarik untuk berumah tangga:
"Tapi Corrie hendak bermaksud membalas surat-surat itu, hendak diterangkannya, bahwa Ia sekali-kali tidak bermaksud hendak bersuami, karena hidup bersuami-istri itu tiadalah menarik hatinya" (Salah Asuhan, hlm. 49)
Dalam kutipan ini Abdoel Moeis menampakkan nilai Individualitas Corrie, Ia enggan dikungkung adat pernikahan. Sikap lain yang terlihat adalah kewaspadaan Corrie terhadap rayuan lelaki:
"Corrie tinggal bermulut manis pada sekaliannya, tapi jika perangai mereka serupa hendak melampaui baris, maka dengan segala manisnya pula Corrie seolah-olah membangun benteng yang teguh membatasi mereka, hingga tak ada yang berani mendekatinya." (Salah Asuhan, hlm. 19)
Secara keseluruhan, Corrie menggambarkan perempuan modern era kolonial yang mendambakan hak dan martabat, sekaligus korban kebijakan "cocok untuk pribumi" yang menempatkannya di pinggir identitas.
3. Ibu Hanafi
Ibu Hanafi adalah simbol adat Minang dan ikatan keluarga yang terus diuji. Sebagai janda yang membesarkan Hanafi sendiri, Ia tetap memegang teguh norma dan pengorbanan Ibu. Melalui Ibu Hanafi, Moeis menyoroti keikhlasan seorang Ibu yang ingin anaknya maju, meski kemudian kehilangan kendali atas nilai-nilai warisan budaya.
4. Rapiah
Rapiah, sepupu yang akhirnya menjadi istri Hanafi, mewakili nilai keibuan dan kesetiaan adat Minang. Moeis menggambarkannya sabar dan tabah meski diperlakukan kasar:
"Rapiah sedang meremas kelapa dan sambil melihat dengan air muka yang jernih pada suaminya." (Salah Asuhan, hlm. 80)
Sikap tenang Rapiah dalam kesulitan menggambarkan dirinya yang tak pernah protes meski Hanafi melepaskan amarah padanya. Sikap lain adalah kematangan berpikirnya:
"Meskipun Rapiah masih anak muda, tapi ujud kata mentuanya itu difahamkannya benar." (Salah Asuhan, hlm. 125)
Kutipan ini menunjukkan Rapiah dewasa menerima nasehat mertua tanpa kebingungan. Moeis menggunakan karakter Rapiah untuk menegaskan nilai baik hati dan taat. Dia tetap setia menjalankan adat keluarga dan menjalankan perannya tanpa keluh, menjadi kebalikan dari keangkuhan hanafi.
Secara keseluruhan, Moeis menyoroti nilai-nilai budaya dalam tiap tokoh: Hanafi mewakili bahaya Westernisasi berlebih, Corrie memperlihatkan pencarian martabat di tengah prasangka rasial, Ibu Hanafi melambangkan pengorbanan tradisional Ibu Minang, dan Rapiah cerminan kesetiaan adat. Melalui kisah mereka, Salah Asuhan menegaskan kritik sosial tentang inferioritas budaya dan konsekuensi Salah Asuhan generasi muda.

Penulis
0 Pengikut

Namaku Hiroko: Ketika Perempuan Memilih Jalannya
Minggu, 1 Juni 2025 17:38 WIB
Konflik dan Benturan Budaya dalam Novel Salah Asuhan Karya Abdoel Moeis
Kamis, 29 Mei 2025 19:51 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler